AKIDAH SEBAGAI DASAR PENDIDIKAN AKHLAK
A. Pendahuluan
Dasar pendidikan akhlak bagi seorang muslim adalah akidah yang benar terhadap alam dan kehidupan, karena akhlak tersarikan dari akidah dan pancaran dirinya. Oleh karena itu, jika seseorang berakidah dengan benar, niscaya akhlaknya pun akan benar, baik dan lurus. Begitu pula sebaliknya, jika akidah salah dan melenceng maka akhlaknya pun akan tidak benar.
Akidah seseorang akan benar dan lurus jika kepercayaan dan keyakinannya terhadap Allah juga lurus dan benar. Karena barang siapa mengetahui Sang Penciptanya dengan benar, niscaya ia akan dengan mudah berperilaku baik sebagaimana perintah Allah. Sehingga ia tidak mungkin menjauh atau bahkan meninggalkan perilaku-perilaku yang telah ditetapkan-Nya.
Adapun yang dapat menyempurnakan akidah yang benar terhadap Allah adalah berakidah dengan benar terhadap malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya yang diturunkan kepada para Rasul dan percaya kepada Rasul-rasul utusan-Nya yang mempunyai sifat jujur dan amanah dalam menyampaikan risalah Tuhan Mereka.
Keyakinan terhadap Allah, Malaikat, Kitab, dan para Rasul-rasul-Nya berserta syariat yang mereka bawa tidak akan dapat mencapai kesempurnaan kecuali jika disertai dengan keyakinan akan adanya hari Ahkir dan kejadian-kejadian yang menggiringnya seperti hari kebangkitan, pengmpulan, perhitungan amal dan pembalasan bagi yang taat serta yang durhak dengan masuk surga atau masuk neraka.
Di samping itu, akidah yang benar kepada Allah harus diikuti pula dengan akidah atau kepercayaan yang benar terhadap kekuatan jahat dan setan. Merekalah yang mendorong manusia untuk durhaka kepada Tuhannya. Mereka menghiasi manusia dengan kebatilan dan syahwat. Merekalah yang merusak hubungan baik yang telah terjalin di antara sesamanya. Demikianlah tugas –tugas setan sesuai dengan yang telah digariskan Allah dalam penciptaannya, agar dia dapat memberikan pahala kepada orang-orang yang tidak mengikuti setan dan menyiksa orang yang menaatinya. Dan semua ini berlaku setelah Allah memerpingatkan umat manusia dan mengancam siapa saja yang mematuhinya setan tersebut.
Pendidikan akhlak yang bersumber dari kaidah yang benar merupakan contoh perilaku yang harus diikuti oleh manusia. Mereka harus mempraktikannya dalam kehidupan mereka, karena hanya inilah yang akan mengantarkan mereka mendapatkan ridha Allah dan akan membawa mereka mendapatkan balasan kebaikan dari Allah.
Ketidakberesan dan adanya keresahan yang selalu menghiasi kehidupan manusia timbul sebagai akibat dari penyelewengan terhadap akhlak –akhlak yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Penyelewengan ini tidak akan mungkin terjadi jika tidak ada kesalahan dalam berakidah, baik kepada Allah. Malikat, rasul, kitab-kitab-Nya maupun hari Akhir.
Untuk menjaga kebenaran pendidikan akhlak dan agar seseorang selalu dijalan Allah yang lurus, yaitu jalan yang sesuai dengan apa yang telah digariskan-Nya, maka akidah harus dijadikan dasar pendidikan akhlak manusia.
B. Pembahasan
1. Pengertian Akhlak
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, Kata akhlak diartikan sebagai suatu tingkah laku tetapi tingkah laku tersebut harus dilakukan secara berulang-ulang tidak cukup hanya sekali melakukan perbuatan baik, atau hanya sewaktu-waktu saja. Seseorang dapat dikatakan berakhlak jika timbul dengan sendirinya didorong oleh motivasi dari dalam diri dan dilakukan tanpa banyak pertimbangan pemikiran apalagi pertimbangan yang sering diulang-ulang, sehingga terkesan sebagai keterpaksaan untuk berbuat. Apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan terpaksa bukanlah pencerminan dari akhlak. Sedangkan menurut para ahli adalah sebagai berikut:
a. Menurut Imam Abu Hamid Al-Gazali
Kata al-khalq ‘Fisik’ dan al-khuluq ‘akhlak’ adalah dua kata yang sering dipakai bersaman. Seperti redaksi bahasa arab ini, fulaan husnu al-khalq wa al-khuluq yang artinya “si fulan baik lahirnya juga batinnya”. Sehingga yang dimaksud dengan kata “al-khalaq” adalah bentuk lahirnya. Sedangkan al-khuluq adalah bentuk batinnya.
Hal ini karena manusia tersusun dari fisik yang dapat dilihat dengan mata kepala, dan dari ruh yang dapat ditangkap dengan batin. Masing-masing dari keduanya memiliki bentuk dan gambaran, ada yang buruk ada pula yang baik. Dan ruh yang ditangkap oleh mata batin itu lebih tinggi nilainya dari fisik yang ditangkap dengan penglihatan mata. Yang dimaksud dengan ruh dan jiwa di sini adalah sama.
Kata al-khuluq merupakan suatu sifat yang terpatri dalam jiwa, yang darinya terlahir perubahan-perubahan dengan mudah tanbpa memikirkan dan merenung terlebih dahulu.
Jika sifat yang tertanam itu darinya terlahir perbuatan-perbuatan baik dan terpuji menurut rasio dan syariat, maka sifat tersebut dinamakan akhlak yang baik. Sedangkan jika yang terlahir adalah perbuatan-perbuatan buruk, maka sifat tersebut dinamakan dengan akhlak yang buruk.
Al-khuluq adalah suatu sifat jiwa dan gambaran batinnya. Dan sebagaimana halnya keindahan bentuk lahir manusia secara mutlak tak dapat terwujud hanya dengan keindahan dua mata, dengan tanpa hidung, mulut dan pipi. Sebaliknya, semua unsur tadi harus indah sehingga terwujudlah keindahan lahir manusia itu. Demikian juga, dalam batin manusia ada empat rukun yang harus terpenuhi seluruhnya sehingga terwujudlah keindahan khuluq “akhlak”. Jika keempat rukun itu terpenuhi, indah dan saling bersesuaian, maka terwujudlah keindahan akhlak itu. Keempat rukun itu antara lain:
1. Kekuatan ilmu
Keindahan dan kebaikannya adalah dengan
membentuknya hingga menjadi mudah mengetahui perbedaan antara juur dan dusta dalam ucapan, antara kebenaran dan kebatilan dalam beraqidah, dan antara keindahan dan keburukan dalam perbuatan.
Jika kekuatan ini telah baik, maka lahirlah buak hikmah, dan hikmah itu sendiri adalah puncak akhlak yang baik. Seperti difirmankan Allah SWT. “…..Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak ….” (Al-Baqarah: 269).
2. Kekuatan marah
Keindahannya adalah jika mengeluarkan marah itu dan penahannya sesuai tuntutan hikmah.
3. Kekuatan syahwat
Keindahan dan kebaikannya adalah jika ia berada di bawah perintah hikmah. Maksudnya perintah akal dan syariat.
4. Kekuatan mewujudkan keadilan di antara tiga kekuatan tadi.
Adalah kekuatan dalam mengendalikan syahwat dan kemarahan di bawah perintah akal dan syariat.
Perumpamaan akal adalah seperti seorang pemberi nasihat dan pemberi petunjuk Kekuatan keadilan adalah kemampuan, dan perumpamaannya adalah seperti pihak yang menjadi pelaksana dan pelaku bagi perintah akal. Dan kemarahan adalah tempat yang padanya dilaksanakan perintah tadi itu. Perumpamaannya adalah seperti anjing pemburu, yang perlu dilatih, sehingga gerak-geriknya sesuai dengan perintah, bukan sesuai dengan dorongan syahwat dirinya.
Sementara perumpamaan syahwat adalah seperti kuda yang ditunggangi untuk mencari hewan buruan, yang terkadang jinak dan menuruti perintah, dan terkadang pula binal.
Siapa yang dapat mewujudkan kesimbangan unsur-unsur tadi, ia pun menjadi sosok yang berakhlak baiks secara mutlak. Sementara orang yang hanya dapat mewujudkan keseimbangan sebagian unsur itu saja, maka ia menjadi orang yang berakhlak baik jika dilihat pada segi yang baik itu saja, seperti orang yang sebagian wajahnya indah, sementara sebagian lainnya buruk. Keindahan kekuatan kemarahan dan keseimbangannya digambarkan dengan keberanian Keindahan kekuatan syahwat dan keseimbangannya digambarkan dengan sifat iffah menjaga kesucian diri. Jika kekuatan marah seseorang cenderung ke arah bertambah maka ia dinamakan dengan tahwwur ‘sembrono’. Sedangkan, jika cenderung melemah dan berkurang maka dinamakan pengecut. Jika kekuatan syahwat cenderung bertambah maka ia dinamakan serakah, sedangkan jika cenderung melemah dan berkurang dinamakan statis.
Yang terpuji adalah sikap seimbang yang merupakan keutamaan, sedangkan dua sikap yang cenderung bertambah dan melemah adalah dua hal yang tercela. Sedangkan keadilan, jika ia terluput maka ia tak mempunyai dua sisi ekstrem, berlebihan atau kurang, tapi ia mempunyai satu lawan dan antonimnya, yaitu kezaliman. Sementara hikmah, tindakan menguranginya ketika menggunakannya dalam perkara-perkara yang tidak baik dinamakan kebusukan dan kerendahan. Sementara tindakan berlebihan padanya dinamakan kedunguan. Maka sikap pertengahannyalah yang dinamakan dengan hikmah. Dengan demikian, pokok-pokok utama akhlak ada empat, yaitu: Hikmah, keberanian, iffah, menjaga kesucian diri, dan keadilan. Hikmah adalah kondisi kekuatan kemarahan yang tunduk kepada akal, dalam maju dan mundurnya.
Kesucian diri adalah melatih kekuatan syahwat dengan kendali akal dan syariat.
Keadilan adalah kondisi jiwa dan kekuatannya memimpin kemarahan dan syahwat, dan membimbingnya untuk berjalan sesuai dengan tuntutan hikmah, juga memegang kendalinya dalam melepas dan menahannya, sesuai dengan tuntutan kebaikan. Dari keseimbangan pokok-pokok tersebut, terwujudlah seluruh akhlak yang mulia.
b. Menurut Muhammad bin Ali Asy-Syariif al-Jurjani
Al-Jurjani mendefinisikan akhlak dalam bukunya, at-Ta’rifat sebagai berikut:
“Khlak adalah istilah bagi sesuatu sifat yang tertanam kuat dalam diri, yang darinya terlahir perbuatan-perbuatan dengan mudah dan ringan, tanpa perlu berfikir dan merennung. Jika sifat tersebut terlahir perbuatan-perbuatan yang indah menurut akal dan syariat, dengan mudah, maka sifat tersebut dinamakan dengan akhlak baik. Sedangkan jika darinya terlahir pebuatan-perbuatan buruk, maka sifat tersebut dinamakan akhlak yang buruk”
kemudian Al-Jurjani kembali berkata “Kami katakan akhlak itu sebagai suatu sifat yang tertanam kuat dalam diri, karena orang yang mengeluarkan derma jarang-jarang dan kadang-kadang saja, maka akhlaknya tidak dinamakan sebagai seorang dermawan, selama sifat tersebut tak tertanam kuat dalam dirinya.
Demikian juga orang yang berusaha diam ketika marah, dengan sulit orang yang akhlaknya dermawan, tapi ia tidak mengeluarkan derma. Dan hal itu terjadi kemungkinan karena ia tidak punya uang atau karena ada halangan.
Sementara bisa saja ada orang yang akhlaknya bakhil, tapi ia mengeluarkan derma, karena ada suatu motif tertentu yang mendorongnya atau karena ingin pamer.
Dari pemaparan tadi tampak bahwa ketika mendefinisikan akhlak, al-Jurjani tidak berbeda dengan definisi Al-Ghazali. Hal itu menunjukan bahwa kedua orang ini mengambil ilmu dari sumber yang sama, dan keduanya juga tidak melupakan Hadits yang menyifati akhlak yang baik atau indah bahwa akhlak adalah apa yang dinilai oleh akal dan syariat.
c. Menurut Ahmad bin Musthafa (Thasy Kubra Zaadah)
Ia seorang ulama ensiklopedia – mendefinisikan akhlah sebgai berikut; “Akhlak adalah ilmu yang darinya dapat diketahui jenis-jenis keutamaan. Dan keutamaan itu adalah terwujudnya keseimbangan antara tiga kekuatan, yaitu; kekuatan berfikir, kekuatan marah, kekuatan syahwat.
Dan masing-masing kekuatan itu mempunyai posisi pertengahan di antara dua keburukan, yakni sebagai berikut:
Hikmah, merupakan kesempurnaan kekuatan berfikir, dan posisi pertengahan antara dua keburukan, yaitu: kebodohan dan berlaku salah. Yang pertama adalah kurangnya Hikmah, dan yang kedua adalah berlebihan.
Keberanian. Adalah kesempurnaan kekuatan amarah dan posisi pertengahan antara dua keburukan, yaitu kebodohan dan berlaku salah. Yang pertama adalah kurangnya keberanian dan yang kedua adalah berlebihan keberanian.
Iffah adalah kesempurnaan kekuatan sahwat dan posisi pertengahan antara dua keburukan, yaitu kestatisan dan berbuat hina. Yang pertama, adalah kurangnya sifat tersebut, sedangkan yang kedua adalah berlebihnya sifat tersebut.
Ketiga sifat ini, yaitu Hikmah, keberanian dan iffah, masing-masing mempunyai cabang, dan masing-masing cabang tersebut merupakan tersebut merupakan posisi pertengahan anatara dua keburukan. Sedangkan sebaik perkara adalah pertengahnnya. Dan dalam ilmu akhlak disebutkan penjelasan detail tentang hal-hal ini.
Kemudian cara pengobatannya adalah dengan menjaga diri untuk tidak keluar posisi dari posisi pertengahan, dan terus berada di posisi pertengahan itu
Topik ilmu ini adalah insting – insting diri, yang membuatnya berada di posisi petengahan antara sikap mengurangi dan berlebihan
Para ahli Hikmah berkata kepada Iskandar, “Tuan raja, hendaknya anda bersikap pertengahan dalam segala perkara. Karena berlebihan adalah keburukan sedangkan mengurangi adalah kelemahan”
Manfaat ilmu ini adalah agar manusia sedapat mungkin menjadi sosok yang sempurna dalam perbuatan-perbuatannya, sehingga di dunia ia berbahagia dan di akherat menjadi sosok yang terpuji
d. Menurut Muhammad bin Ali al-Faaruqi at-Tahanawi
Ia berkata, “Akhlak adalah keseluruhannya kebiasaan, sifat alami, agama, dan harga diri. Menurut definisi para ulama, akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam diri dengan kuat yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa diawalai berfikir panjang, merenung dan memaksakan diri. Sedangkan sifat-sifat yang tak tertanam kuat dalam diri, seperti kemarahan seorang yang asalnya pemaaf, maka ia bukan akhlak. Demikian juga, sifat kuat yang justru melahirkan perbuatan-perbuatan kejiwaan dengan sulit dan berfikir panjang, seperti orang bakhil. Ia berusaha menjadi dermawan ketika ingin di pandang orang. Jika demikian maka tidaklah dapat dinamakan akhlak.
Segala tindakan mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu seperti Qudrat ‘kemampuan’ berbeda dengan dudrat, yaitu ia tidak wajib ada bersama makhluk ketika ia mengerjakan sesuatu seperti wajibnya hal itu menurut para ulama Asy’ari dalam masalah Qudrat
Kemudian at-Tahanawi berkata, “Akhlah terbagi atas hal sebagai berikut Keutamaan, yang merupakan dasar bagi apa yang sempurna
Kemudian at-Tahanawi berkata, “Akhlah terbagi atas hal sebagai berikut Keutamaan, yang merupakan dasar bagi apa yang sempurna
Kehinaan, yang merupakan dasar bagi apa yang kurang Dan selain keduanya yang menjadi dasar bagi selain kedua hal itu”
Penjelasannya adalah bahwa jiwa yang mampu berbicara, ketika berkaitan enggan fisik dan Pengendalian atas fisik, serta memerlukan tiga kekuatan
Pertama, kekuatan yang mampu memikirkan apa yang dibutuhkan dalam membuat perencanaan dan aturan. Yang dinamakan dengan kekuatan akal, kekuatan berbicara, insting, dan jiwa yang tenang dan dikatakan pula sebagai kekuatan yang menjadi dasar untuk memahami hakikat-hakikat, keinginan untuk memperhatikan akibat-akibat setiap perbuatan, dan membedakan antara yang mendatangkan manfaat dan mengasilkan kerusakan.
Kedua, kekuatan yang mendorong seseorang untuk mendapatkan apa yang memberi manfaat bagi fisiknya dan cocok dengannya, seprti makanan, minuman dan lainnya, dan hal itu dinamakan dengan kekuatan syahwat, unsur hewani dan nafsu amarah.
Ketiga, kekuatan yang dapat menghindari seseorang dari sesuatu yang dapat merusak dan membuat pedih tubuhnya, dan hal itu dikatakan pula sebagai dasar untuk maju dalam keadaan sulit, dan pendorong untuk berkuasa dan meningkatkan derajat diri. Kekuatan ini dinamakan dengan kekuatan amarah dan ganas, serta nafsu lawwanah.
Kemudian ia berkata bahwa dari keseimbangan kondisi kekuatan instingtif lahirlah Hikmah, Hikmah itu adalah suatu keadaan kekuatan akal praktis yang berada pada posisi pertengahan antara berfikir terlalu mengkhayal kondisi berlebih dari kekuatan ini, yaitu ketika seseorang menggunakan kekuatan pemikiran untuk memikirkan apa yang tak seharusnya dipikirkan, seperti perkara-perkara yang mustasyaabihat ‘samat’ dan bentuk yang tak seharusnya sperti menyalahi syariat. Dan antara kebodohan dan kedunguan yang merupakan kondisi kekurangan Hikmah, yaitu ketika seseorang mematikan kekuatan berfikirnya secara sengaja. Dan berhenti dari mendapatkan ilmu-ilmu yang bermanfaat.
Keseimbangan kekuatan syahwat melahirkan sifat iffah menjaga kesucian diri iffah itu sendiri adalah kekuatan syahwat yang moderat antara bertindak berlebihan dan melanggar etika sifat kurangnya berarti jatuh dalam terus mengikuti dorongan merasakan kelezatan apa yang ia senangi, dengan kesatisan sifat lebihnya iffah yang merupakan kondisi vakum dari usaha mendapatkan kelezatan sesuai dengan kadara yang diperbolehkan akal dan syariat. Dalam sifat iffah tersebut nafsu syahwat tunduk terhadap kekuatan Pikiran.
Kesimbangan kekuatan marah melahirkan keberanian. Keberanian itu adalah suatu kondisi kekuatan marah, yang bersifat moderat antara tindakan sembrono yang merupakan kondisi berani yang berlebihan yaitu maju untuk melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan dengan sifat pengecut, sikap khawatir atas apa yang tak seharusnya dikhawatirkan, dan ia adalah kondisi kurang berani.
Dalam kekuatan keberanian ini, sifat buas menjadi tunduk kepada kekuatan berfikir, sehingga maju dan mundurnya kekuatan ini sesuai dengan pertimbangan pemikiran, tanpa mengalami kebingungan ketika menghadapi masalah-masalah besar, dan karena itu perbuatannya menjadi indah dan kesabarannya menjadi terpuji.
Jika keutamaan yang tiga itu bercampur, maka terjadilah dari percampuran itu kondisi yang sama, yaitu keadilan. Karena hal ini, maka keadilan digambarakan sebagai sikap tengah atau moderat, dan itulah yang dimaksud dengan Sabda Rasulullah saw ini “Paling baik perkara adalah yang pertengahan”
Kemudian at-Tahanawi meneruskan perkataannya, dan ia pun berbicara tentang akhlah yang agung, ia berkata bahwa akhlak agung bagi para shalihin adalah berpaling daru dua semesta, dan menghadap hanya kepada Allah semata secara total.
Al-Wasithi berkata bahwa akhlak yang agung adalah tidak memusuhi dan tidak dimusuhi
Athaa berkata bahwa akhlak yang agung adalah melepaskan pilihan dan penolakannya atas segala kesulitan dan cobaan yang diturunkan Allah SWT.
Akhlak yang agung bagi Nabi SAW adalah yang disinyalir dalam firman Allah SWT
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar-benar berbudi pekerti yang agung” (al-Qalam:4) dans sesuai yang dikatakan oleh Aisyah r.a bahwa akhlak Rasulullah SAW adalah Al-Qur'an, yang bertindak sesuai dengan Al-Qur'an dan telah tertanam kuat dalam diri, sehingga beliau menjalaninya tanpa kesulitan.
C. Penutup
Kesimpulan
Para ulama Islam yang menulis tentang akhlak itu menjelaskan bahwa akhlak yang baik adalah apa yang dinilai baik oleh akal dan syariat. Sedangkan akal saja tak cukup untuk menilai baik dan buruknya suatu perbuatan. Oleh karena itu, Allah mengutus para Rasul dan menurunkan pertimbangan (Kitab Suci) bersama mereka yang memperlakukan manusia dengan penuh keadilan.
Demikianlah, ukuran akhlak yang baik jika sesuai dengan syariat Allah. Berhak mendapatkan ridha-Nya dan dalam memegang akhlak yang baik ini sambil memperhatikan pribadi, keluarga, dan masyarakat, sehingga di dalamnya terdapat kebaikan dunia dan akherat
No comments:
Post a Comment